Perselisihan mengenai batas tanah kerap menimbulkan konflik, seperti yang dialami pasangan suami istri di Lubuklinggau, Abu Seman dan Asma Wangi, yang menjadi korban penyerangan oleh tetangga mereka, Bahrudin. Masalah tersebut bermula ketika Bahrudin hendak menjual tanah yang diklaim sebagian oleh pasangan tersebut sebagai milik mereka.
Platform Jual Beli Properti di Jakarta, Tangerang, Surabaya, Batam, Bogor: eCatalog Sinarmas
Kapolsek Lubuklinggau Selatan, AKP Nyoman Sutrisna, menjelaskan bahwa insiden tersebut terjadi ketika korban dan pelaku saling klaim mengenai batas tanah di RT 05, Kelurahan Air Kati, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I. Akibat perselisihan ini, Bahrudin menyerang Abu Seman dan istrinya. Kasus ini menyoroti pentingnya pemahaman hukum terkait pelanggaran batas tanah.
Aturan Hukum Pelanggaran Batas Tanah
Pengacara properti, Muhammad Rizal Siregar, menjelaskan bahwa jika seseorang terbukti hendak menjual tanah yang bukan haknya, maka ia melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pelaku dapat dikenakan hukuman pidana karena dianggap mengambil hak orang lain. Ancaman hukuman untuk pelanggaran ini adalah pidana penjara hingga empat tahun.
Selain itu, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) juga dapat digunakan oleh korban yang merasa dirugikan. Pasal ini mengatur bahwa setiap tindakan yang merugikan orang lain dan melanggar hak mereka dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). Korban berhak menuntut pelaku untuk mengembalikan kondisi tanah seperti semula atau menuntut ganti rugi.
Cari tanah kavling di Tangerang dan sekitarnya dengan harga terbaik? Cek disini!
Ganti Rugi dan Dokumen Kepemilikan Tanah
Ganti rugi atas tanah yang diserobot dihitung berdasarkan luas tanah yang diambil serta harga yang ditentukan oleh Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah tersebut. Sebelum menuntut, penting untuk memastikan keabsahan dokumen kepemilikan tanah.
Ada dua jenis dokumen yang mendasari kepemilikan tanah di Indonesia, yaitu sertifikat hak milik (SHM) dan surat girik. SHM merupakan bukti kepemilikan tanah yang telah terdaftar di Badan Pertanahan Negara (BPN). Sementara itu, surat girik umumnya digunakan oleh masyarakat pedesaan yang belum mendaftarkan tanahnya ke BPN.
Solusi Penyelesaian Perselisihan Batas Tanah
Untuk menyelesaikan konflik terkait batas tanah, pihak yang berselisih dapat melakukan mediasi di kantor kepala desa atau kelurahan setempat. Dalam mediasi ini, batas-batas tanah akan dipastikan berdasarkan dokumen kepemilikan yang dimiliki kedua pihak.
Jika mediasi tidak membuahkan hasil, langkah hukum selanjutnya adalah mengajukan gugatan ke pengadilan. Bagi pemilik tanah yang belum memiliki sertifikat, gugatan diajukan ke Pengadilan Umum. Sedangkan pemilik tanah bersertifikat dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Penting untuk menyelesaikan perselisihan batas tanah secara damai dan melalui jalur hukum yang tepat. Hal ini tidak hanya menghindari konflik fisik, tetapi juga menjaga hak-hak kepemilikan tanah secara sah sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia.
Baca juga artikel terkait tips properti disini:
Dapatkan juga informasi menarik dan terkini seputar properti, investasi, dan tata cara finansial lainnya di ecatalog.sinarmasland.com